Kerja remote jadi kebutuhan utama pasca pandemic

Selama masa pandemic COVID-19 ini beberapa perusahaan dipaksa bertransformasi untuk bisa mengakomodir kerja remote atau mayoritas dibilang kerja dari rumah. Bahkan beberapa perusahaan misalnya Microsoft mengumumkan bahwa opsi kerja dari rumah menjadi opsi permanent buat pegawai. Karena bila ternyata setengah karyawan yang setiap hari menggunakan kantor, kebutuhan operasional akan berkurang, demikian juga dengan biaya.

Pertanyaannya, kalian bisa tidak untuk bekerja produktif pada dengan remote? Bisa dibilang karir pertama saya bekerja di perusahaan sebagai programmer justru remote ke San Francisco pada saat saya bekerja sebagai software engineer untuk salah satu startup di sana yaitu Snacksquare. Perbedaan waktu satu hari, dan komunikasi yang tidak sebagus sekarang bisa jadi menjadi kendala utama saat itu. Tapi akhir berhasil merilis aplikasi tersebut ke pasar.

Beberapa tahun kemudian juga bisa dibilang semua kerja dari kosan, pada saat saya menjalankan software house saya bernama ThinkRooms. Team saya yang sebagian besar juga freelancer, juga bekerja dari tempat masing-masing. Dan waktu itu media komunikasi kita cuma email dan Skype. Bahkan dua pekerjaan terakhir saya di The Asia Foundation dan Google bisa dianggap juga remote, karena manager saya tidak berada di Indonesia.

Dan dari pengalaman bertahun-tahun bekerja dari tempat tinggal ada beberapa hal yang saya simpulkan, apa yang dibutuhkan seseorang agar bisa bekerja remote. Dan ini juga menjadi acuan saya pada bekerja dengan orang, baik itu meng-hire dia atau berkolaborasi dengan seseorang. Dan ini terlepas dari kalian punya manager, atasan, atau bos yang bisa mendukung atau tidak.

Kemampuan mendeteksi atau melihat suatu masalah

Ini memang kemampuan yang perlu diasah. Sama seperti indra kita, makin sering diasah makin tajam. Dan kuncinya adalah paham objektif dari suatu pekerjaan tau bagaimana mencapainya. Tanpa pemahaman dan pengetahuan ini bagaimana kita bisa tahu bahwa suatu kerjaan tidak optimal? Kemampuan kita mendeteksi sesuatu tidak optimal inilah yang menurut saya kemampuan utama yang susah dipelajari.

Belajar agar melihat potensi akan terjadinya suatu masalah atau kondisi tidak optimal walaupun itu belum kejadian bisa menjadi kemampuan yang paling membedakan kalian dengan orang lain.

Cara melatihnya? Sederhana, biasakan diri kita tahu objektif dari suatu pekerjaan dan identifikasi faktor-faktor penghalang berdasarkan pemahaman kita bagaimana mencapai objektif tersebut. Makin sering kita mengidentifikasi faktor penghalang, makin paham pula kita terhadap pola munculnya masalah.

Kemampuan menyelesaikan masalah

Bisa melihat dan mendeteksi suatu masalah tanpa dibarengi kemampuan menyelesaikan masalah. Kemampuan ini juga perlu diasah, karena mirip dengan di atas makin sering kita melihat masalah makah makin kita bisa mengenali pola dari masalah tersebut. Dan cara melatihnya ya sama dengan di atas, ekspos diri kita dengan masalah.

Jangan selalu puas dengan satu solusi, selalu coba lakukan iterasi untuk mencari solusi dengan kompleksitas dan biaya yang lebih rendah. Kalau kalian pernah menjalani coding interview kalian mungkin familiar dengan Big O notation, yaitu notasi yang mengukur seberapa kompleks dan mahal dari algoritma solusi yang ditawarkan.

Jangan menjadi orang yang membuat sesuatu asal jadi tanpa memikirkan apakah yang dikerjakan sudah optimal atau belum. Karena inilah yang membedakan kalian itu hanya sekedar pekerja atau bisa juga berpikir. Apakah kalian tipikal orang mengerjakan sesuatu hanya sesuai spesifikasi atau yang diminta? Tidak salah, dan bagus kalau bisa deliver sesuai spesifikasi. Tapi kalian berpotensi digantikan dengan robot dan algoritma kalau hanya bisa memberikan output tanpa berusaha berpikir apakah proses dan output sudah optimal.

Kemampuan berkomunikasi dengan tulisan

Saya memilih punya team yang tidak banyak bicara tapi semua terdokumentasi dengan baik. Banyak manager atau atasan yang kerjanya mengajak meeting yang justru membuat team kehabisan waktu untuk bekerja. Hal ini biasanya karena kurangnya budaya membaca dokumentasi atau mungkin kualitas dokumentasi yang kurang dapat dimengerti. Untuk itu biasakan menulis dalam mendeskripsikan masalah, menyampaikan pendapat, dan bertanya.

Saya banyak melihat teman-teman saya memilih mengajak meeting karena malas menulis dokumentasi panjang. Tapi alih-alih menghemat waktu, kebanyakan meeting malah akan berlanjut dengan meeting-meeting berikutnya yang sebenarnya bisa dikomunikasi lewat email. Bayangkan ada berapa kata yang bisa dituliskan untuk meeting 1 jam?

Bukan berarti berkomunikasi dengan tulisan harus selalu dengan tulisan panjang seperti ini. Kemampuan pitching pendek melalui tulisan justu sangat penting. Karena bisa tidak kita membuat seseorang tertarik membaca dokumentasi ide kita yang panjang dengan mengirim email sebanyak 2 paragraf?

Ini pola yang saya pelajari dulu di Google, tiap orang selalu menuangkan masalah yang dia temukan atau ide-ide baru yang mungkin bisa menjadi feature, atau improvisasi dalam produk, atau bahkan menjadi produk baru ke dalam Google Docs atau Google Slides. Lalu dia akan membagikan dokumentasinya ke team yang dia butuh untuk mendukungnya mengerjakan itu. Kemampuan dia mengkomunikasikan secara pendek via email untuk menarik orang membaca dokumentasi panjangnya inilah yang sangat penting agar mendapat dukungan pada ide tersebut.

Kemampuan bekerja asinkronus dalam team

Banyak orang merasa bahwa bekerja dikantor akan lebih mudah karena akan lebih cepat untuk bekerja pada hal yang membutuhkan masukan atau komentar dari orang lain, misalnya proposal. Tapi tidak sadar bahwa sebenarnya mereka saling mendistraksi satu sama lain.

Tiap orang punya cara, kecepatan, dan pola kerja yang berbeda. Memaksa orang untuk menjalankan hal yang sama cuma membuat seseorang mungkin lebih produktif tapi orang lain akan lebih tidak produktif. Bukankah ini egois? Dan biasanya ini terjadi pada manager atau atasan, dan lupa bahwa tugas manager adalah memastikan team bisa bekerja optimal. Tapi memaksakan semua orang mengikut cara dia justru sebenarnya malah membuat team tidak optimal.

Bekerja asinkronus atau tidak harus berada di waktu dan tempat yang sama adalah hal paling efisien untuk memastikan orang bisa bekerja dengan kondisi optimal masing-masing. Hal ini untuk memastikan tiap orang punya produktifas yang optimal juga. Dalam team tentunya hal ini tidak mudah, karena cuma bisa bekerja bila semua individu dalam team bisa bekerja asinkronus. Satu individu saja tidak dapat bekerja asinkronus, bisa menghalangi individu lain untuk bekerja optimal.

Cara transisinya?

  • Lakukan 3 hal di atas, dan paling penting adalah komunikasi text yang terdokumentasi.
  • Optimalkan email, bukan Slack atau Whatsapp. Real time chat hanya untuk sesuatu yang sangat penting.
  • Meeting hanya untuk berdiskusi dan strict dengan waktu, kalau diatur diawal meeting 30 menit dan habis, sudahi meeting dan tentukan langkah selanjutnya.
  • Tiap orang berhak menolak meeting, dan mengatur jadwalnya sendiri. Tanpa ini, tidak mungkin bisa asinkronus.

Penutup

Empat hal dasar di atas menurut saya adalah kemampuan yang perlu kalian latih kalau kalian ingin mengoptimalkan kerja remote atau fleksibel dari mana pun. Dua hal pertama terkait mengidentifikasi masalah dan menyelesaikan secara mandiri dan optimal ini sebenarnya untuk memaksimalkan fungsi manager. Manager memastikan kita bisa bekerja optimal tanpa halangan, tapi kalau identifikasi dan menyelesaikan masalah kita ga bisa inisiatif maka manager akan mengambil alih ini dan berujung akan memberikan kita ceklis pekerjaan atau menjadi baby sitter untuk anggota teamnya. Ujung-ujungnya kondisi optimal dari kerja remote yaitu kerja berorientasi objektif bukan ceklis pekerjaan akan menghilang.

Jadilah pemalas dengan berusaha bekerja lebih pintar untuk mencapai objektif. Produktif bukan harus sibuk setiap waktu, tapi bisa menyelesaikan pekerjaan tepat waktu.